Karena Pemula dan Tidak Bongkar Muat ABK Kapal, Dapat Disangksi Potongan


Tekong Iwan Buning baju kuning dan baju orange Wandi ABK Kapal

Karena Pemula dan Tidak Bongkar Muat ABK Kapal, Dapat Disangksi Potongan


Brebes penapantura.com - Sektor perikanan dan pelayaran kembali disorot terkait praktik ketenagakerjaan yang merugikan. Sebuah transkrip percakapan yang dianalisis baru-baru ini mengungkap gambaran suram kehidupan Anak Buah Kapal (ABK), menyoroti masalah pelik seputar potongan gaji sepihak, konflik kompetensi, dan tekanan mental yang tinggi.

Ancaman Potongan dan Tekanan Komitmen

Inti permasalahan terletak pada sistem penggajian yang diduga kontroversial dan merugikan pekerja. Para ABK dilaporkan menghadapi tekanan untuk menjaga "tanggung jawab" dan "komitmen" kerja, yang berbanding terbalik dengan praktik pemotongan gaji yang signifikan.

Seorang pekerja mengungkapkan frustrasinya dengan pernyataan emosional, "Saya menangis karena saya tidak bisa," yang mencerminkan tekanan mental di lingkungan kerja. Potongan gaji yang dikeluhkan ABK disebut-sebut mencapai jumlah fantastis, berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 6 juta, dengan berbagai alasan, termasuk praktik yang disebut " potongan ABK kapal " 

"Duit aku tanggung jawab, aku kerja tanggung jawab, komitmen lah," tegas pekerja tersebut, menggarisbawahi upaya mereka untuk profesional namun dihadapkan pada sistem yang tidak transparan.

Sementara WD ketika bertemu tekong dan yang membawanya di balai desa kedunguter hari Jumat 28 November 2025 setelah dipotong lain-lain hanya menerima tambahan 200.000 saja, ujarnya.

Dari Brebes potongannya paling 2 juta rupiah saja Tapi saya heran asal Tegal saya dipotong 2 juta per hari, keluhannya.

Isu Kompetensi dan Peran Nahkoda (Tekong)

Selain masalah gaji, konflik internal mengenai standar kompetensi ABK juga menjadi sorotan. Terjadi gesekan antara pekerja lama dan baru, dengan adanya kontras tajam antara mereka yang "kerja di laut, layaran enggak bisa" dengan kasus pekerja baru yang "belajar langsung bisa layar." Penekanan pada perlunya "Belajar Belajar, Bukan seorang penonton" mengindikasikan adanya perdebatan sengit tentang keterampilan teknis di atas kapal.

Peran Tekong atau Nahkoda juga dipertanyakan karena dituduh "membela" ABK lain, bahkan dalam kasus tuntutan gaji yang tinggi. Konflik ini terlihat jelas dalam kasus tuntutan gaji Rp 11 juta, yang kemudian hanya diminta separuhnya (Rp 5,5 juta) oleh individu yang dipanggil " Wandi ," menunjukkan kurangnya transparansi dalam pembagian hasil tangkapan atau honorarium.

Keterlibatan Pihak Luar dan Dampak Pribadi

Percakapan tersebut juga menyentuh aspek finansial lain yang tidak jelas, seperti "Wang Koki" (Uang Juru Masak), yang secara eksplisit dinyatakan tidak diketahui oleh pekerja, melainkan menjadi urusan rekan kerja lain yang dipanggil "Kumis." Hal ini menunjukkan adanya pembagian tanggung jawab finansial yang tumpang tindih atau tidak terkomunikasikan dengan baik.

Kondisi kerja yang rumit dan tidak pasti ini bahkan berdampak negatif pada kehidupan pribadi ABK. Setelah 10 tahun bekerja di tempat yang sama, seorang pekerja menyatakan kesulitan untuk menikah, mengaitkan masalah ini langsung dengan "rumit"-nya kondisi kerja di lapangan.

Analisis ini memberikan peringatan keras akan perlunya intervensi dan regulasi yang lebih ketat di sektor perikanan dan pelayaran untuk memastikan hak-hak dasar ABK terpenuhi, terutama dalam hal transparansi gaji dan perlindungan dari praktik pemotongan sepihak.

Arif Rahman alias Iwan bu Ning yang menjadi tekong kapal sejumlah APK yang salah satunya bernama Wandi, mengatakan hal itu merupakan tradisi 

Dan sudah lama berlaku untuk pemula dipotong, kemudian tidak bongkar muat pada saat kapal dipotong 2 juta per hari.

Dari angka 22.500.000 pemotongan 5 juta karena dia ( WD) adalah pemula , kemudian selama 3 hari tidak bongkar muat dipotong per hari 2 juta rupiah, atau total 6 juta untuk bongkar muat ikan.

Sementarac Topik atau Kasiman yang juga warga Kedunguter, menjelaskan bahwasanya hal itu wajar . 

Red...( teguh )

Comments